Boltim – Suasana Gedung DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) memanas saat puluhan warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Tutuyan Bersatu (FMTB) berteriak lantang “Lawan Mafia Tanah!” dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Selasa, 6 Mei 2025. Mereka datang dengan satu tuntutan tegas, cabut Hak Guna Usaha (HGU) PT Ranomut yang telah merampas ruang hidup rakyat.
RDP tersebut membahas status kepemilikan lahan HGU yang diklaim oleh PT Ranomut namun telah lama diduduki dan dikelola oleh masyarakat Tutuyan. Di hadapan Ketua DPRD Boltim Samsudin Dama, puluhan warga menyampaikan aspirasi dan menyerahkan dokumen tuntutan resmi. Sayangnya, pihak PT Ranomut hanya diwakili oleh dua karyawan lapangan yang memilih bungkam dengan alasan bukan kapasitas mereka untuk memberikan pernyataan.

“Ini bukan sekadar konflik lahan. Ini adalah bentuk ketimpangan struktural dalam penguasaan tanah. HGU yang diterbitkan tanpa pertimbangan atas sejarah dan realitas penguasaan lahan oleh masyarakat adalah pengkhianatan terhadap keadilan sosial,” tegas Rizqi Mohune, perwakilan FMTB dalam pernyataan sikapnya.
Rizqi membeberkan bahwa selama bertahun-tahun, rakyat Tutuyan telah hidup, bertani, dan bermukim secara turun-temurun di atas lahan tersebut. Namun belakangan tanah itu diklaim sebagai milik PT Ranomut atas dasar HGU yang keabsahannya patut dipertanyakan, terutama ketika lahan dimaksud terbengkalai dan tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya.
Dari sisi hukum, mereka bersandar pada UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, UUPA No. 5 Tahun 1960, hingga Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Forum menegaskan bahwa HGU yang tidak lagi digunakan untuk tujuan awalnya dapat dicabut dan tanahnya didistribusikan kembali kepada rakyat melalui skema reforma agraria.
Kritik tajam diarahkan kepada negara yang dinilai abai dan cenderung melindungi kepentingan korporasi ketimbang rakyat. “Kami bukan pendatang liar. Kami adalah warga yang telah membangun kehidupan dari tanah ini jauh sebelum perusahaan datang membawa klaim sepihak,” tambah Rizqi.

Forum juga mengecam berbagai bentuk intimidasi dan kriminalisasi yang kerap menimpa warga yang memperjuangkan hak atas tanah. Mereka menuntut pengakuan atas hak kelola rakyat yang sah secara sosial dan historis.
Dalam forum tersebut, Kepala Seksi Survei dan Pengukuran ATR/BPN Boltim, Dedy M, mengakui bahwa sebagian besar lahan HGU di wilayah Boltim memang bermasalah. Ia menyebut bahwa sesuai PP No. 18 Tahun 2021, HGU dapat dicabut apabila pemanfaatannya tidak sesuai dengan peruntukan, seperti berubah fungsi dari pertanian ke non-pertanian tanpa dasar hukum yang jelas.
“HGU bisa dihapus jika tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya. Tapi ada prosedur dan keputusan dari Kementerian ATR/BPN yang harus dilalui,” ujar Dedy.
Asisten II Setda Boltim, Haris Sumanta, menyampaikan bahwa Pemkab menempatkan diri sebagai penengah dan berharap masalah ini tidak berkembang menjadi konflik horizontal. Namun pernyataan tersebut dinilai normatif dan kurang responsif terhadap urgensi tuntutan masyarakat.
Ketua DPRD Boltim Samsudin Dama menegaskan akan menggelar RDP lanjutan pekan depan, dengan harapan pimpinan PT Ranomut dan Kepala ATR/BPN Boltim hadir langsung untuk memberi penjelasan yang layak.

Forum Masyarakat Tutuyan Bersatu menyampaikan tiga tuntutan utama
Cabut HGU yang tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan oleh PT Ranomut.
Akui dan legalkan penguasaan lahan oleh rakyat yang telah lama tinggal dan mengelola lahan tersebut.
Hentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah.
Tokoh masyarakat Achmat Karunsala menegaskan bahwa rakyat memiliki bukti historis dan moral dalam penguasaan lahan tersebut. Ia bahkan menuding PT Ranomut telah memperjualbelikan tanah yang status legalitasnya patut dipertanyakan.
“Jika perusahaan mengklaim memiliki 10.000 meter persegi di Desa Tutuyan II, maka tunjukkan di mana letaknya! Jangan sembunyi di balik dokumen HGU untuk menyingkirkan rakyat,” ujar Achmat.
Kasus HGU di Tutuyan mencerminkan potret buram pengelolaan agraria di Indonesia. Negara dituntut tidak hanya menjadi penengah, tetapi menjadi pembela rakyat yang selama ini dipinggirkan oleh kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Suara rakyat sudah jelas: Cabut HGU, akui hak rakyat, dan hentikan kriminalisasi atas perjuangan agraria.(Red)






