Excavator Masuk Hutan, Aparat Masih Diam?

Berita, Daerah1419 Dilihat

Hujan yang dulu membawa kehidupan, kini kerap menghadirkan kekhawatiran. Sungai-sungai yang meluap, lahan-lahan produktif yang rusak, serta hutan-hutan yang semakin gundul adalah sinyal bahwa Bolaang Mongondow Timur (Boltim) sedang menghadapi persoalan yang lebih dari sekadar cuaca, ini adalah dampak dari aktivitas pertambangan yang diduga berlangsung secara ilegal dan masif.

Dengan menggunakan alat berat seperti excavator, aktivitas tambang tanpa izin ini tidak lagi bersifat sembunyi-sembunyi. Ia hadir terang-terangan, meninggalkan jejak kerusakan pada lanskap hutan dan perkebunan warga. Di sejumlah desa, kawasan yang dulunya hijau dan tenang, kini berubah menjadi titik rawan longsor, banjir, dan konflik lahan.

Pelanggaran semacam ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal masa depan daerah. Jika kerusakan terus dibiarkan, maka yang hilang bukan hanya pohon atau tanah, tapi juga sumber air bersih, pertanian warga, dan kestabilan hidup masyarakat.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang mengubah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jelas menyatakan, setiap kegiatan pertambangan tanpa izin usaha resmi adalah tindakan pidana. Sanksinya bukan main-main, penjara hingga lima tahun dan denda mencapai Rp100 miliar. Namun sekeras apapun hukum ditulis, jika tak dijalankan secara adil dan konsisten, maka semuanya tinggal tulisan di atas kertas.

Yang menjadi pertanyaan besar hari ini, di mana semua unsur yang seharusnya menjaga Boltim? Pemerintah daerah melalui dinas-dinas teknis seharusnya menjadi filter pertama dari setiap upaya perusakan ruang hidup. Dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, Kehutanan, hingga Dinas Perizinan tidak bisa lagi bekerja setengah hati atau justru menjadi bagian dari masalah.

Polres Boltim dan jajaran penegak hukum dituntut bertindak tanpa pandang bulu. Harus ada penyelidikan mendalam terhadap siapa yang bermain di balik masuknya excavator ke titik-titik tanpa izin. Jangan hanya buruh tambang yang dikorbankan, sementara aktor intelektual dan pemodalnya bebas bergerak.

Begitu pula pemerintah desa dan kecamatan, sebagai pihak terdekat dengan masyarakat, mereka tidak boleh diam ketika wilayah administrasinya diserobot dan dieksploitasi secara brutal. Diamnya perangkat desa bisa diartikan sebagai restu yang membahayakan banyak pihak.

Tak kalah penting, Kejaksaan dan KPK perlu mengawasi potensi pembiaran struktural dan dugaan gratifikasi dalam penerbitan atau pemalsuan izin tambang. Jika pembiaran ini terstruktur, maka penindakan tidak cukup hanya di lapangan, harus menyentuh meja-meja keputusan.

Boltim sedang berdiri di persimpangan, apakah akan dibiarkan terjerumus ke dalam pusaran tambang tak terkendali, atau bangkit dengan tata kelola yang berani menolak eksploitasi liar? Keputusan ada di tangan para pemimpin daerah hari ini.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *