Otonomi Daerah Dipertanyakan: Ketika Sumber PAD Ditarik, Daerah Diminta Mandiri

Berita, Daerah1038 Dilihat

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah mereformulasi pembagian kewenangan antara pusat dan daerah kini menimbulkan kontroversi baru. Salah satu poin krusial dalam regulasi ini adalah penarikan kewenangan pengelolaan sektor mineral dan batubara (minerba) dari pemerintah kabupaten/kota ke tangan pemerintah pusat. Sebuah langkah yang tidak hanya memengaruhi teknis pengelolaan tambang, tetapi juga berdampak serius pada kemandirian fiskal daerah.

PAD Melemah, Beban Daerah Meningkat

Sektor minerba selama ini menjadi salah satu penyumbang utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) di banyak kabupaten penghasil. Ketika kewenangan untuk mengelola, mengawasi, hingga memberikan izin tambang ditarik ke pusat, maka hilang pula potensi pendapatan yang selama ini menopang anggaran daerah.

Ironisnya, di saat bersamaan, pemerintah pusat terus menuntut agar daerah mampu membiayai kebutuhannya secara mandiri. Paradoks ini menimbulkan pertanyaan mendasar: dari mana daerah akan memperoleh PAD jika seluruh sumber potensialnya ditarik ke pusat?

Kondisi ini menciptakan ketimpangan struktural. Di satu sisi, daerah dituntut menjalankan pembangunan, pelayanan publik, dan penataan lingkungan. Namun di sisi lain, otoritas atas sumber daya ekonomi yang vital justru tidak dimiliki. Dalam jangka panjang, ini akan melemahkan kapasitas fiskal daerah dan memperdalam ketergantungan terhadap transfer pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Bagi Hasil (DBH).

Lemahnya Kontrol atas Lingkungan Tambang

Dampak lain yang tak kalah serius adalah hilangnya kendali daerah terhadap aspek teknis dan pengawasan lingkungan tambang. Pemerintah kabupaten/kota, yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menangani dampak lingkungan dan sosial akibat pertambangan, kini hanya menjadi penonton. Padahal, dampak negatif seperti pencemaran air, rusaknya lahan pertanian, konflik sosial, dan kerusakan ekosistem lebih dahulu dirasakan masyarakat lokal, bukan pemerintah pusat.

Tanpa kewenangan untuk bertindak, pemerintah daerah kehilangan kemampuan untuk menjamin perlindungan lingkungan dan keselamatan warganya. Mekanisme koordinasi yang dibangun pusat pun kerap lambat, tidak responsif, dan berjarak dari realitas di lapangan.

Saatnya Evaluasi dan Koreksi Regulasi

Sudah saatnya UU Nomor 23 Tahun 2014 dikaji ulang secara serius. Semangat awal otonomi daerah adalah memberikan ruang bagi pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya secara efektif dan bertanggung jawab. Namun bila pengelolaan sumber daya strategis tetap dimonopoli pusat, maka otonomi akan kehilangan makna.

Jika pemerintah pusat bersikukuh bahwa daerah harus mandiri secara fiskal, maka seharusnya diberi pula kewenangan untuk mengelola potensi ekonomi yang ada di wilayahnya. Tanpa itu, tuntutan kemandirian hanya akan menjadi tekanan sepihak, tanpa instrumen yang memadai untuk mencapainya.

Pemerintah pusat dan DPR perlu membuka ruang dialog untuk mengoreksi ketimpangan ini. Memberikan kembali sebagian kewenangan pengelolaan minerba kepada kabupaten/kota, dengan mekanisme pengawasan yang terstandar dan terukur, adalah salah satu langkah menuju sistem pemerintahan yang lebih adil, efektif, dan sesuai dengan semangat desentralisasi.

Oleh : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *