Gubernur Sulawesi Utara, Mayor Jenderal (Purn) Yulius Selvanus Komaling (YSK), dengan tegas mengumumkan kebijakan baru: Stop Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk korporasi besar! Langkah ini mengguncang dunia politik dan ekonomi pertambangan daerah, terutama karena YSK menempatkan rakyat sebagai prioritas dalam pengelolaan sumber daya alam.
Namun, apakah langkah ini benar-benar akan membawa perubahan bagi rakyat? Atau hanya akan menjadi wacana tanpa tindakan nyata? Pertanyaan ini semakin kuat ketika melihat peran instansi terkait, termasuk kepolisian, kehutanan, dan aparat penegak hukum lainnya dalam menyikapi praktik tambang ilegal yang marak.
Di beberapa desa di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), seperti di desa Bai-Buyandi dan Matabulu, terinformasi ekskavator yang digunakan untuk tambang ilegal terlihat bebas beroperasi. Padahal, penggunaan alat berat tanpa izin jelas melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Di mana peran kepolisian dan instansi terkait dalam menertibkan aktivitas ilegal ini?
Pasal 158 UU Minerba menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Begitu juga, Pasal 89 UU P3H mengatur bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin pada kawasan hutan dapat dipidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Polres Boltim dan Kapolda Sulut sebagai ujung tombak penegakan hukum juga dipertanyakan. Apakah sudah ada tindakan tegas terhadap ekskavator yang jelas-jelas digunakan dalam kegiatan tambang ilegal? Apakah ada koordinasi antara Polres, Kapolda Sulut, Dinas Kehutanan, dan ESDM untuk menangani persoalan ini?
Jika aturan tegas sudah ada, mengapa masih ada pembiaran terhadap praktik ilegal ini? Kepolisian dan instansi terkait harus segera mengambil langkah nyata untuk menghentikan eksploitasi tambang yang merugikan publik dan merusak lingkungan.
Selain aparat keamanan, instansi kehutanan juga memiliki kewajiban mengawasi pemanfaatan kawasan hutan, apalagi jika ada aktivitas tambang di dalamnya. Apakah ada sinergi yang cukup antara kepolisian dan kehutanan untuk mengatasi tambang ilegal? Mengapa hukum terkesan tegas kepada rakyat kecil tetapi tidak pada korporasi besar atau pihak yang memiliki pengaruh?
Jika tidak ada koordinasi yang baik antarinstansi, kebijakan Gubernur YSK bisa menjadi sekadar jargon tanpa ada dampak positif bagi publik. Masyarakat perlu bukti nyata, bukan sekadar janji, bahwa pemerintah serius menertibkan tambang ilegal yang merusak alam dan merugikan warga lokal.
Gubernur YSK perlu memastikan bahwa langkah menghentikan IUP korporasi besar ini juga dibarengi dengan perlindungan hukum bagi para penambang kecil. Jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi senjata politik tanpa ada perubahan konkret. Upaya mewujudkan tambang rakyat harus didukung dengan regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang adil.
Jika benar berpihak pada rakyat, instansi terkait dan aparat hukum harus segera bertindak untuk membersihkan praktik tambang ilegal yang melibatkan alat berat. Jangan sampai tambang ilegal justru dilindungi, sementara rakyat kecil yang berjuang untuk hidup malah dikriminalisasi.(Redaksi)