Klarifikasi Pj Sangadi Molobog Sarat Pengalihan Isu, Abaikan Fakta Lapangan

Berita, Daerah2898 Dilihat

Pernyataan Penjabat (Pj) Sangadi Desa Molobog, Dewi Sandra Tololiu, S.Pd, yang disampaikan melalui salah satu media online, dinilai tidak mencerminkan kondisi nyata yang terjadi di tengah masyarakat.

Dalam wawancara tersebut, Dewi menyebut bahwa tudingan arogansi terhadap dirinya hanyalah fitnah yang bersumber dari persoalan pribadi seorang kontraktor.

Pernyataan ini justru terkesan sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian publik dari persoalan utama yang jauh lebih substansial: hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penolakan terhadap Dewi bukan semata karena konflik dengan satu individu. Sejumlah warga Desa Molobog secara kolektif telah menyatakan penolakan terhadap gaya kepemimpinan Dewi dengan menandatangani surat pernyataan. Ini adalah bentuk nyata dari keresahan masyarakat yang harusnya dipahami dan dihargai dalam sistem pemerintahan yang demokratis.

Lebih memprihatinkan, berdasarkan informasi dari warga yang enggan disebutkan namanya, Dewi dalam sebuah pesan pribadi diduga menyatakan akan memecat aparat desa yang ikut menandatangani surat pernyataan penolakan tersebut.

Ini menimbulkan pertanyaan serius di tengah masyarakat: apakah masih ada ruang bagi warga untuk menyampaikan pendapat secara bebas tanpa takut akan pembalasan?

Jika informasi ini benar, maka tindakan tersebut mencerminkan gaya kepemimpinan yang represif dan jauh dari nilai-nilai keterbukaan serta penghormatan terhadap suara masyarakat. Ini bukan sekadar soal etika pemerintahan, tetapi juga soal pelanggaran terhadap prinsip partisipasi warga dalam proses demokrasi lokal.

Lebih jauh lagi, keprihatinan yang turut disuarakan oleh tokoh masyarakat seperti Jhon Tololiu yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Dewi menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Pj Sangadi ini telah meluas dan bukan lagi soal urusan pribadi atau proyek.

Ini adalah cerminan dari kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin yang dinilai tidak mampu menjadi pengayom, tidak terbuka terhadap masukan, dan gagal membangun komunikasi yang sehat dengan warganya.

Yang lebih mengkhawatirkan, dalam pesan pribadi Dewi yang beredar di kalangan masyarakat, terdapat indikasi bahwa ia diduga telah mencampuradukkan urusan pemerintahan desa dengan kepentingan politik kelompok tertentu. Dalam pesannya, Dewi menulis:

“KLO ad ba bilang mo ganti aparat yg ad ba TTD itu butul kta yg bilang TPI KLO mo ganti dgn ARUS itu nda terucap p kt p mulu. KRNA banyak lgi ORAS yg nd tau maso aparat. KRNAkan yg ad TTD berarti nd suka p kita TPI ada bbrpa Igi aparat yg ad b TTD tpi drg langsung b TLP p kita ba Kse tau ad TTD.”

Pesan ini memberi kesan bahwa kebijakan terkait aparat desa turut dipengaruhi oleh dinamika kelompok seperti “Arus” dan “Oras” yang diketahui memiliki latar belakang politik. Jika benar demikian, maka intervensi semacam ini tidak hanya merusak netralitas pemerintahan desa, tetapi juga mengkhianati kepercayaan masyarakat yang berharap pada kepemimpinan yang adil dan bersih dari kepentingan kelompok.

Atas dasar itu, Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur perlu menanggapi persoalan ini secara serius dan obyektif. Aspirasi masyarakat yang tertuang dalam surat penolakan, serta kegelisahan yang berkembang di lapangan, bukanlah masalah sepele yang bisa diredam dengan klarifikasi sepihak. Suara masyarakat adalah fondasi utama dalam tata kelola pemerintahan desa dan ketika suara itu diabaikan, maka fondasi itulah yang mulai runtuh.(Redaksi)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *