Menteri Yandri Susanto Dikecam Keras oleh Seluruh Pimpinan Redaksi Media Online Atas Pernyataan “Wartawan Bodrex”

Publik kecam Tudingan Mentri Desa

Hukum/Kriminal51 Dilihat

Bongkar Perkara.com Jakarta, Minggu 2 Februari 2025 – Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Yandri Susanto, menuai kecaman luas dari kalangan jurnalis setelah menyebut wartawan dengan istilah “wartawan Bodrex”. Pernyataan kontroversial ini disampaikan Yandri menanggapi pemberitaan yang dianggapnya tidak akurat. Ungkapan tersebut dianggap merendahkan profesi jurnalis dan memicu protes keras dari berbagai organisasi pers di Indonesia termasuk GMOCT.

Yandri Susanto, dalam keterangannya, mengungkapkan ketidakpuasan terhadap beberapa laporan media yang dinilai tidak merefleksikan kondisi lapangan. Ia kemudian menggunakan istilah “wartawan Bodrex,” merujuk pada obat penghilang sakit kepala, untuk menggambarkan wartawan yang menurutnya membuat laporan yang tidak akurat.

Pernyataan ini langsung memicu reaksi negatif, Banyak pihak menilai ungkapan tersebut sebagai penghinaan dan pelecehan terhadap profesi jurnalis yang memiliki peran vital dalam menyampaikan informasi kepada publik. Sejumlah organisasi wartawan dan jurnalis secara tegas mengecam pernyataan tersebut.

Eri Opunk, pimpinan redaksi media online Tegarnews dan anggota GMOCT (Gabungan Media Online dan Cetak Ternama), menyatakan kekecewaannya. “Harusnya oknum, jangan ada embel-embel Bodrex,” tegasnya. Ia pun meminta Yandri Susanto untuk memberikan klarifikasi dan permintaan maaf secara resmi. Senada dengan itu, Ketua Umum GMOCT, Yopi Zulkarnain, menuntut bukan hanya permintaan maaf, tetapi juga bukti atas pernyataan Yandri Susanto. Seluruh pimpinan redaksi media online yang tergabung dalam GMOCT juga mengecam keras pernyataan Menteri tersebut.

Kecaman semakin keras mengingat pernyataan tersebut dinilai sebagai tindakan yang menghambat kemerdekaan pers dan melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) (tentang kemerdekaan pers) dapat dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda Rp.500.000.000,00.

“Merendahkan wartawan secara keseluruhan berarti menghancurkan kemerdekaan pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial,” ujar salah satu perwakilan organisasi wartawan.

Mereka menekankan bahwa jurnalis bukanlah musuh negara atau alat politik, melainkan mitra pemerintah dalam membangun informasi yang transparan dan akuntabel.

Insiden ini juga menyoroti perlunya pelatihan dan edukasi bagi pejabat publik tentang etika berkomunikasi dan pentingnya memahami peran jurnalis dalam menjaga demokrasi. Beberapa organisasi wartawan berencana menggelar diskusi terbuka untuk membahas isu ini lebih lanjut, mengundang akademisi dan pengamat media untuk menciptakan lingkungan yang saling menghormati antara jurnalis dan pejabat publik. Dialog konstruktif antara wartawan dan pejabat publik dinilai krusial untuk mendorong kolaborasi yang lebih positif dalam penyampaian informasi kepada masyarakat.

#No Viral No Justice

Team/Red

GMOCT: Gabungan Media Online dan Cetak Ternama

Editor:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *